"Umi, ke laut yuk!" ajak Abi di Sabtu pagi, 23 Juni 2012. "Atau, Umi mau ke pasar?" lanjutnya.
Masih dalam keadaan ngantuk, aku pikir-pikir. Mau ke pasar, malas ah (malas kok dipiara). Mau ke laut, aih... tak ada rencana. Kegiatan tanpa rencana kira-kira bakal menyenangkan nggak ya?
"Di Marina aja atau ke Beras Basah?" tanyaku
"Kita sailing di Marina aja, yuk!"
Akhirnya tanpa rencana sebelumnya, pukul 8 lewat kami bertiga sudah berada di Boat House menghampar tikar, meletakkan bantal dan bekal (3 bungkus Indomie goreng, setermos air mendidih, teh celup dan gula, sebungkus Crackers, sebungkus pilus, sebungkus Koya kiriman tetangga plus 4 botol air mineral).
Sementara ayangku bergegas menyiapkan layar Catamaran (Catamaran is a type of multihulled boat or ship consisting of two hulls)
Sebagai anggota Hobie Fleet 132 yang bersertifikat, beruntungnya kami bisa menggunakan Catamaran gratis, walau boleh dikata dalam setahun kami hanya turun tak lebih dari hitungan jari.
Sertifikat itu kami dapatkan 19 tahun yang lalu setelah mengikuti kelas di bawah pimpinan Comodor Pak Subroto, pelatih Pak Christ Tielman. *Hey, gini-gini, aku juga lulus dan bersertifikat loh. :)
Tapi tolong deh, jangan suruh aku menyiapkan layar, aku sudah lupa caranya... hihihi..
Biarlah Kang Cepy saja yang masih cekatan dan masih ingat letak sambungan tali untuk Main Sail dan Zip Sail ke Boom dan cara mengikatnya.
Pukul 9 lewat, perahu dan layarnya sudah siap, "Oke Dhiya, gunakan life vest-nya! Kita berlayar ke Beras Basah yuk!" tiba-tiba saja Abi berubah pikiran, padahal rencana awalnya kan cuma main-main perahu di teluk Bontang.
What, Beras Basah? Butuh waktu 1 jam kalau angin bagus. Kalau tak ada angin, bisa-bisa terapung-apung di tengah laut.
"Yakin, Bi?" tanyaku. "Kuatkah Abi pegang kemudi sendiri? Umi sudah lupa caranya," sahutku sangsi.
"Insyaallah Abi masih kuat. Kita main disana, siang baru pulang," putus Abi.
"Aku takut na kalau nyebrang sampai Beras Basah..." rengek Dhiya.
"Ayolah, Dhi. Masa sih anak SD alam takut berpetualang. Asyik lho naik perahu layar sampai sana," bujuk Abi.
"Aku takut..." ujar Dhiya menciutkan keberanianku. Padahal dulu, aku paling senang turun ke laut, menyebrang sampai Beras Basah dengan perahu layar. Menarik kencang tali layar sampai tegang sehingga angin benar-benar menghembus layar. Itu bisa menyebabkan satu sisi perahu terangkat dan akhirnya layar rebah bahkan terbalik. Kami pun tercebur ke laut lepas dengan posisi layar menyentuh laut. Lalu kami akan beramai-ramai (satu perahu bisa untuk 4 orang) menegakkan kembali perahu pada posisi semula, mencari angin, menegangkan tali layar sampai dengungnya kencang, melaju dengan satu sisi, untuk kemudian perahu terbalik lagi. Wuih... asyik sekali! Tapi entah kenapa sekarang aku agak ngeri-ngeri gitu. Faktor U kale..
Keputusan Abi sudah bulat. Aku menggulung tikar dan perbekalan. Kumasukkan bekal ke dalam ransel, sementara dompet, bantal, termos dan barang lain yang tak mungkin kami bawa, kami simpan lagi di mobil. Berangkat.....
"Pegangan ya, Dhi! Nggak usah takut, ini akan jadi pengalaman menyenangkan lho.." hibur Abi untuk mengurangi ketakutan Dhiya. Wajah Dhiya yang sempat menegang perlahan rileks seiring perahu melaju menuju Beras Basah. Tuh, ada teman yang berlayar juga.
"Umi, kalau ketemu kucing hitam itu artinya sial nggak?" tanya Dhiya tiba-tiba. Deg, kok Dhiya ngomong gitu sih? Aku merasa akan terjadi sesuatu pada perjalanan kami nanti. Aku diam sejenak, memikirkan sebuah jawaban yang bijaksana.
"Hm... itu kan tahayur Dek. Kita nggak boleh percaya sama yang begitu-begitu," akhirnya kujawab juga pertanyaan Dhiya.
"Tenanglah Dhiya, kita kan sudah pakai lifevest. Itu membantu kita tetap mengapung. Yang penting kita harus bisa berenang. Makanya kalau Abi suruh kamu belajar berenang, latihanlah yang serius!" Abi ikut menimpali.
"Ketemu kucing hitam akan sial atau enggak, itu sih tergantung...," Dhiya kembali pada topik kucing hitamnya.
"Tergantung apa? Nggak boleh lho percaya begituan.." kataku.
"Ya tergantung, kita itu tikus atau manusia. Kalau kita tikus pasti akan sial, kalau kita manusia ya enggak," jawab Dhiya polos. Hahaha, Dhiyaaaaa... ampun deh! Sudah serius-serius, ternyata Dhiya cuma mengutip kata-kata dari buku 750+ tebak-tebakan ciamik-nya Nayyara (Medpress). Dhiya tertawa senang melihat kami terkecoh pertanyaannya.
Angin bertiup cukup kencang, tak terasa kami sudah berlayar cukup jauh. Sebuah gabus berikat tali mengapung di tengah laut. Kata Abi sih, itu adalah pancing nelayan yang disebar di sekitar situ. Mereka, para nelayan meletakkan beberapa di sembarang tempat di tengah laut, meninggalkannya, lalu nanti kembali untuk menge-check-nya. Cara memancing yang cerdas menurutku, tanpa perlu duduk termangu menunggu.
Pulau Beras Basah semakin dekat. Walau tak terlalu ramai, terlihat kesibukan di sekelilingnya. Kami memutuskan untuk mendarat di sisi sebelah kiri, dekat menara navigasi yang tidak terlalu ramai. Untunglah ini hari Sabtu, kalau hari Minggu bisa penuh sisi pantai oleh pengunjung yang berenang.
Yuk, merapat! Keluarkan tenaga untuk menarik perahu. Tugas Abi lagi deh hihihi.. Untunglah Abi kita perkasa ya, Dhiya? Luv you, Abi... :)
Tak kusangka, dengan tangkas Dhiya turun dan membantu Abi menarik perahu. Anak pintar *walau kutahu usahanya tak membantu banyak heuheu..
"Ayo Umi, turuuun!" ajak Abi. Ya..ya.. aku akan segera turun kalau perahu sudah tertambat sempurna di bibir pantai. Bukan apa-apa, aku ingin langsung melompat dari perahu ke pasir pantai. Biasalah, supaya sepatuku tidak basah hehehe...
Nah, tetap kering kan? Bahkan bekal dan hp pun tetap aman di tas ransel. Oke, kita cari tempat yang nyaman.
Membuka bekal sambil mengamati kegiatan di Pulau Beras Basah.
Ada nelayan menurunkan muatan. Apa ya?
Oh, ternyata keranjang itu berisi rumput laut yang akan dijemur. Tuh hamparannya, kelihatan kan?
Kami berjalan menyusuri pantai dan mengelilingi pulau. Sepi.
Ada sebuah keluarga tengah menikmati makan siangnya. Asap mengepul, tercium aroma ikan bakar yang sedap. Duh, jadi ngiler. *teringat bekal kami yang cuma 3 bungkus mie instant. hiks.
Sampai siang, Dhiya menikmati air laut bersama Abi. Mengubur dirinya dengan pasir, berenang dan mengganggu Abi. Gelaknya tak henti-henti. Sementara aku duduk di pasir berteman rayon dan hakpen melanjutkan rajutanku. Lumayan dapat satu sisi.
Pukul 12 lewat kami meninggalkan pulau Beras Basah, maksudnya supaya kami tiba di rumah sebelum waktu Dzuhur lewat. Itu rencananya.
Terkantuk-kantuk aku menikmati alunan ombak. Angin cukup kencang, aku jadi ingin merebahkan raga, memejamkan mata. Tertidur diatas catamaran. Untunglah matahari terhalang awan. Langit teduh membuat tidurku makin nyaman.
Satu jam berlalu. Kupikir sudah sampai di Boat House ketika membuka mata, ternyata... kami masih terkatung-katung di laut. Tak ada angin. Dhiya gelisah.
"Abi, Abi punya no telp boat house nggak?" tanya Dhiya.
"Ada. Kenapa, Dhi?"
"Coba telp aja petugas, biar perahu kita ditarik," sarannya. Hahaha, aku memahami kekhawatiran Dhiya. Mati angin begini memang membuat jemu. Teringat pengalamanku belasan tahun lalu, terkatung-katung di tengah laut seperti ini. Ternyata kelemahan Abi masih sama. Selalu mengalami kendala ketika menyusuri arah pulang. Pantas aja nggak pernah menang kalau ikutan race hehehe.. *pis deh, Bi.
Abi mengendurkan semua tali. Perahu berayun mengikuti arus menuju pantai. Bisa sampai sore nih menuju boat house kalau mati angin begini.
Kami saling bercerita untuk menghilangkan rasa cemas Dhiya. Untunglah angin mulai bertiup. Horeee... tak sampai 15 menit, perahu kami melaju memasuki teluk Bontang. Air laut mulai surut. Petugas Boat House telah menanti untuk membantu Abi menarik perahu ke tempat bersandarnya.
Kudengar Dhiya berucap, "Aku senang meluncur di sini. Bunyi airnya menandakan lautnya dangkal."
Hehehe.. aku tahu, itu artinya Dhiya sangat lega karena sudah tiba di daratan dengan sempurna.
Bontang, 23 Juni 2012.
Di tempat tinggalku yang terletak di pinggir hutan, tak jauh dari tepi laut.
Masih dalam keadaan ngantuk, aku pikir-pikir. Mau ke pasar, malas ah (malas kok dipiara). Mau ke laut, aih... tak ada rencana. Kegiatan tanpa rencana kira-kira bakal menyenangkan nggak ya?
"Di Marina aja atau ke Beras Basah?" tanyaku
"Kita sailing di Marina aja, yuk!"
Akhirnya tanpa rencana sebelumnya, pukul 8 lewat kami bertiga sudah berada di Boat House menghampar tikar, meletakkan bantal dan bekal (3 bungkus Indomie goreng, setermos air mendidih, teh celup dan gula, sebungkus Crackers, sebungkus pilus, sebungkus Koya kiriman tetangga plus 4 botol air mineral).
Sementara ayangku bergegas menyiapkan layar Catamaran (Catamaran is a type of multihulled boat or ship consisting of two hulls)
Sebagai anggota Hobie Fleet 132 yang bersertifikat, beruntungnya kami bisa menggunakan Catamaran gratis, walau boleh dikata dalam setahun kami hanya turun tak lebih dari hitungan jari.
Sertifikat itu kami dapatkan 19 tahun yang lalu setelah mengikuti kelas di bawah pimpinan Comodor Pak Subroto, pelatih Pak Christ Tielman. *Hey, gini-gini, aku juga lulus dan bersertifikat loh. :)
Tapi tolong deh, jangan suruh aku menyiapkan layar, aku sudah lupa caranya... hihihi..
Biarlah Kang Cepy saja yang masih cekatan dan masih ingat letak sambungan tali untuk Main Sail dan Zip Sail ke Boom dan cara mengikatnya.
Pukul 9 lewat, perahu dan layarnya sudah siap, "Oke Dhiya, gunakan life vest-nya! Kita berlayar ke Beras Basah yuk!" tiba-tiba saja Abi berubah pikiran, padahal rencana awalnya kan cuma main-main perahu di teluk Bontang.
What, Beras Basah? Butuh waktu 1 jam kalau angin bagus. Kalau tak ada angin, bisa-bisa terapung-apung di tengah laut.
"Yakin, Bi?" tanyaku. "Kuatkah Abi pegang kemudi sendiri? Umi sudah lupa caranya," sahutku sangsi.
"Insyaallah Abi masih kuat. Kita main disana, siang baru pulang," putus Abi.
"Aku takut na kalau nyebrang sampai Beras Basah..." rengek Dhiya.
"Ayolah, Dhi. Masa sih anak SD alam takut berpetualang. Asyik lho naik perahu layar sampai sana," bujuk Abi.
"Aku takut..." ujar Dhiya menciutkan keberanianku. Padahal dulu, aku paling senang turun ke laut, menyebrang sampai Beras Basah dengan perahu layar. Menarik kencang tali layar sampai tegang sehingga angin benar-benar menghembus layar. Itu bisa menyebabkan satu sisi perahu terangkat dan akhirnya layar rebah bahkan terbalik. Kami pun tercebur ke laut lepas dengan posisi layar menyentuh laut. Lalu kami akan beramai-ramai (satu perahu bisa untuk 4 orang) menegakkan kembali perahu pada posisi semula, mencari angin, menegangkan tali layar sampai dengungnya kencang, melaju dengan satu sisi, untuk kemudian perahu terbalik lagi. Wuih... asyik sekali! Tapi entah kenapa sekarang aku agak ngeri-ngeri gitu. Faktor U kale..
Keputusan Abi sudah bulat. Aku menggulung tikar dan perbekalan. Kumasukkan bekal ke dalam ransel, sementara dompet, bantal, termos dan barang lain yang tak mungkin kami bawa, kami simpan lagi di mobil. Berangkat.....
"Pegangan ya, Dhi! Nggak usah takut, ini akan jadi pengalaman menyenangkan lho.." hibur Abi untuk mengurangi ketakutan Dhiya. Wajah Dhiya yang sempat menegang perlahan rileks seiring perahu melaju menuju Beras Basah. Tuh, ada teman yang berlayar juga.
"Umi, kalau ketemu kucing hitam itu artinya sial nggak?" tanya Dhiya tiba-tiba. Deg, kok Dhiya ngomong gitu sih? Aku merasa akan terjadi sesuatu pada perjalanan kami nanti. Aku diam sejenak, memikirkan sebuah jawaban yang bijaksana.
"Hm... itu kan tahayur Dek. Kita nggak boleh percaya sama yang begitu-begitu," akhirnya kujawab juga pertanyaan Dhiya.
"Tenanglah Dhiya, kita kan sudah pakai lifevest. Itu membantu kita tetap mengapung. Yang penting kita harus bisa berenang. Makanya kalau Abi suruh kamu belajar berenang, latihanlah yang serius!" Abi ikut menimpali.
"Ketemu kucing hitam akan sial atau enggak, itu sih tergantung...," Dhiya kembali pada topik kucing hitamnya.
"Tergantung apa? Nggak boleh lho percaya begituan.." kataku.
"Ya tergantung, kita itu tikus atau manusia. Kalau kita tikus pasti akan sial, kalau kita manusia ya enggak," jawab Dhiya polos. Hahaha, Dhiyaaaaa... ampun deh! Sudah serius-serius, ternyata Dhiya cuma mengutip kata-kata dari buku 750+ tebak-tebakan ciamik-nya Nayyara (Medpress). Dhiya tertawa senang melihat kami terkecoh pertanyaannya.
Angin bertiup cukup kencang, tak terasa kami sudah berlayar cukup jauh. Sebuah gabus berikat tali mengapung di tengah laut. Kata Abi sih, itu adalah pancing nelayan yang disebar di sekitar situ. Mereka, para nelayan meletakkan beberapa di sembarang tempat di tengah laut, meninggalkannya, lalu nanti kembali untuk menge-check-nya. Cara memancing yang cerdas menurutku, tanpa perlu duduk termangu menunggu.
Pulau Beras Basah semakin dekat. Walau tak terlalu ramai, terlihat kesibukan di sekelilingnya. Kami memutuskan untuk mendarat di sisi sebelah kiri, dekat menara navigasi yang tidak terlalu ramai. Untunglah ini hari Sabtu, kalau hari Minggu bisa penuh sisi pantai oleh pengunjung yang berenang.
Yuk, merapat! Keluarkan tenaga untuk menarik perahu. Tugas Abi lagi deh hihihi.. Untunglah Abi kita perkasa ya, Dhiya? Luv you, Abi... :)
Tak kusangka, dengan tangkas Dhiya turun dan membantu Abi menarik perahu. Anak pintar *walau kutahu usahanya tak membantu banyak heuheu..
"Ayo Umi, turuuun!" ajak Abi. Ya..ya.. aku akan segera turun kalau perahu sudah tertambat sempurna di bibir pantai. Bukan apa-apa, aku ingin langsung melompat dari perahu ke pasir pantai. Biasalah, supaya sepatuku tidak basah hehehe...
Nah, tetap kering kan? Bahkan bekal dan hp pun tetap aman di tas ransel. Oke, kita cari tempat yang nyaman.
Membuka bekal sambil mengamati kegiatan di Pulau Beras Basah.
Ada nelayan menurunkan muatan. Apa ya?
Oh, ternyata keranjang itu berisi rumput laut yang akan dijemur. Tuh hamparannya, kelihatan kan?
Kami berjalan menyusuri pantai dan mengelilingi pulau. Sepi.
Ada sebuah keluarga tengah menikmati makan siangnya. Asap mengepul, tercium aroma ikan bakar yang sedap. Duh, jadi ngiler. *teringat bekal kami yang cuma 3 bungkus mie instant. hiks.
Sampai siang, Dhiya menikmati air laut bersama Abi. Mengubur dirinya dengan pasir, berenang dan mengganggu Abi. Gelaknya tak henti-henti. Sementara aku duduk di pasir berteman rayon dan hakpen melanjutkan rajutanku. Lumayan dapat satu sisi.
Pukul 12 lewat kami meninggalkan pulau Beras Basah, maksudnya supaya kami tiba di rumah sebelum waktu Dzuhur lewat. Itu rencananya.
Terkantuk-kantuk aku menikmati alunan ombak. Angin cukup kencang, aku jadi ingin merebahkan raga, memejamkan mata. Tertidur diatas catamaran. Untunglah matahari terhalang awan. Langit teduh membuat tidurku makin nyaman.
Satu jam berlalu. Kupikir sudah sampai di Boat House ketika membuka mata, ternyata... kami masih terkatung-katung di laut. Tak ada angin. Dhiya gelisah.
"Abi, Abi punya no telp boat house nggak?" tanya Dhiya.
"Ada. Kenapa, Dhi?"
"Coba telp aja petugas, biar perahu kita ditarik," sarannya. Hahaha, aku memahami kekhawatiran Dhiya. Mati angin begini memang membuat jemu. Teringat pengalamanku belasan tahun lalu, terkatung-katung di tengah laut seperti ini. Ternyata kelemahan Abi masih sama. Selalu mengalami kendala ketika menyusuri arah pulang. Pantas aja nggak pernah menang kalau ikutan race hehehe.. *pis deh, Bi.
Abi mengendurkan semua tali. Perahu berayun mengikuti arus menuju pantai. Bisa sampai sore nih menuju boat house kalau mati angin begini.
Kami saling bercerita untuk menghilangkan rasa cemas Dhiya. Untunglah angin mulai bertiup. Horeee... tak sampai 15 menit, perahu kami melaju memasuki teluk Bontang. Air laut mulai surut. Petugas Boat House telah menanti untuk membantu Abi menarik perahu ke tempat bersandarnya.
Kudengar Dhiya berucap, "Aku senang meluncur di sini. Bunyi airnya menandakan lautnya dangkal."
Hehehe.. aku tahu, itu artinya Dhiya sangat lega karena sudah tiba di daratan dengan sempurna.
Bontang, 23 Juni 2012.
Di tempat tinggalku yang terletak di pinggir hutan, tak jauh dari tepi laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar