Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Jumat, 16 April 2010

Jum'at, 16 April

Siang menjelang shalat Jum'at, Abimu pergi ke mesjid dengan raut cemas. Bukan apa-apa, sejak semalam tanda-tanda itu sudah nampak, tapi kenapa suster di rumah sakit menyuruh Umi untuk menunggu di rumah saja. Masih lama kata Suster. Umi jadi enggan untuk kembali ke rumah sakit, lebih baik di rumah saja menahan sakit dan mulas. Umi bisa mengerang sepuasnya di depan Mbah Uti tanpa dimarahi orang, sampai-sampai Umi lihat Mbah Uti menangis. Tapi itulah, akibat mengerang seenaknya, sekujur tubuh Umi basah. Keringat campur darah dan ketuban pecah. Aih... mana Abi? Untung shalat Jum'at segera berakhir, Abimu tergesa-gesa menelpon rumah sakit lewat telpon umum yang terletak di tembok luar kamar mandi masal barrack JC-5. Yups, waktu itu kita masih tinggal di Barrack JC yang sempit, tak ada fasilitas telpon di setiap rumah seperti saat ini, apalagi telpon genggam.

Kelihatannya Abi tidak berhasil untuk meminta ambulans datang, mungkin karena jam istirahat, atau diperkirakan belum tiba saatnya melahirkan, Umi tidak tahu. Untunglah Om Puji tetangga kita yang tinggal di JC-10 yang pegawai rumah sakit dan diberi fasilitas telpon segera menghubungi rumahsakit dan menerangkan keadaan Umi yang sudah tidak berdaya. Akhirnya datang juga ambulans dan perawat. Mereka tergesa-gesa masuk ke rumah dan segera mengangkat Umi ke atas tandu dibantu tetangga-tetangga sebelah rumah.

"Jangan mengejan ya, Bu! Tarik nafas saja dalam-dalam, jangan sampai melahirkan di kendaraan. Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit" pesan suster Yulita Theodora menenangkan. Sebenarnya jarak rumah sakit dan barak yang terletak dekat Padang Golf itu tidak terlalu jauh, tapi tetap saja terasa lama padahal ambulans sudah berjalan cukup kencang dengan suara sirinenya yg meraung.

Begitu sampai di rumah sakit Umi langsung dibawa ke ruang bersalin. Suster Ning, Suster Yulita dan Suster Ana yang membantu. Tepat jam 13.13 WITA, pecahlah tangismu di ruang bersalin RS. PT. Badak Bontang. Tangisan pertamamu Nak, di Jum'at siang 16 April, 17 tahun yang lalu.

Siang ini Umi mengingatnya kembali, berharap engkau di sana selalu diberi kesehatan, diberi umur yang barokah, menjadi anak yang sholeh dan dimudahkan rezekimu. Pandai-pandailah memilih teman, dan ingatlah... Allah selalu melihat apa yang kita perbuat.

Jadilah muslim yang shaleh anakku, agar kelak engkau bisa memimpin keluargamu. Jangan sekali-kali engkau mempersekutukan Allah. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah dengan rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya, serta lakukanlah dengan khusyu. Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan angkuh, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi angkuh.

Sungguh tak ada yang lebih membuat kami bahagia, selain meninggalkan dirimu dalam keadaan selalu beriman dan beramal sholeh, bahagia dunia dan akhirat.

Peluk cium buat sulungku : GUSTI PANGESTU