Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Senin, 15 November 2010

Sepotong Cerita Di Mina

“...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yg sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah..." (QS. Ali Imron : 97)


Perkemahan Haji di Mina, pada musim haji Januari 2004.


Pagi masih menyisakan dingin yang menggigit. Di dalam tenda perkemahan haji Indonesia di Mina itu kami melepas penat setelah semalam mabit di Muzdalifah. Sambil membereskan tas bawaanku, mataku bersitatap dengan mata perempuan itu. Perempuan tua yang duduk mematung di sudut kemah. Pikirannya seperti mengembara entah kemana. Aku trenyuh. Kuhampiri dia.

Senin, 20 September 2010

Pembeli adalah Raja, apa iya?

Toko itu sebenarnya cukup lengkap dibandingkan toko-toko lain yang ada di kota ini. Di toko itu tersedia bahan-bahan untuk membuat cake lengkap dengan assesoriesnya maupun dus untuk mengemasnya. Tokonya cukup besar dengan jumlah pelayan yang memadai. Sang Pemiliknya kulihat biasa berkeliling dalam toko sambil mengawasi para karyawannya melayani pembeli. Dengan demikian pelayanan kepada pembeli tentunya akan bertambah baik bukan? Hm, harusnya demikian. Tapi beberapa kali aku mengunjungi toko itu, selalu saja ada hal yang kurang memuaskan terjadi.

Selasa, 03 Agustus 2010

Ketika Kesempatan Itu Tiba

Kursus komputer gratis? Hm... mau banget! Apalagi setelah membaca note-nya Teh Inong di fesbuk yang judulnya “Kursus Komputer Penghilang Stress” tertanggal 28 April 2010 yg lalu. Bener deh pingin ikutan! (Eitss... jangan salah terka, ingin ikut kursus bukan karena sedang stress lho hehehe... yang jelas ingin tambah ilmu biar nggak gaptek-gaptek amat).

Kamis, 08 Juli 2010

Episode kecil di Executive Lounge Sepinggan

Waktu menunjukkan pukul 10 waktu Indonesia Bagian Tengah. Masih 2 jam untuk menunggu keberangkatan pesawat Pelita Air Service ke Bontang. Tak lama terdengar panggilan untuk penumpang pesawat Citylink Garuda GA-061 tujuan Surabaya agar segera memasuki pintu A3.

Seorang bapak bersama 3 anaknya yang sama2 menunggu di executive lounge segera berdiri dan keluar melalui pintu Executive Lounge yg sepi. Sementara petugas segera memanggilnya dan meminta untuk melewati pintu A3. Sedikit percakapan yang sempat kusimak.

Rabu, 23 Juni 2010

Muray

Muray bukan nama burung, tapi itu adalah singkatan nama jalan “Muncang Raya” yang membentang di depan rumah mertuaku di Kampung Muncang kota Jasinga Kab. Bogor. Sebuah jalan yang menghubungkan kota Bogor dan Rangkas. Bertahun-tahun sebelum aku mengenal suamiku, jalan ini sudah menjadi penghubung kota-kota kecil di Kabupaten Bogor, dilewati oleh bis-bis angkutan umum juga truk-truk besar pengangkut hasil bumi.

Tak banyak yang berubah sejak aku rutin mengunjungi kota ini setahun sekali. Sawahnya yang menghijau, sungainya yang membentang dan menjadi tempat mck bagi warganya, suasana pesantrennya yg kental, juga jalan raya di depan rumah yang tak semulus jalan tol, masih seperti dulu. Masih saja ada lubang di sana-sini yang membuat para pengendara harus berhati-hati.

Tapi... ada yang lain malam ini, hiruk pikuk suara terdengar di sepanjang jalan Muncang Raya. Suara pekerja dan alat-alatnya seolah berlomba dengan waktu diiringi suara mesin penggilas dan lalu-lalang kendaraan. Semua jalan yang berlubang ditambal dan diratakan dengan aspal. Ow, betapa giatnya mereka bekerja! Seakan esok pagi adalah batas akhir semua pekerjaan. Seperti kisah permintaan Roro Jonggrang pada Bandung Bondowoso agar bangunan selesai sebelum fajar. Ada apa gerangan?

“Tentu saja untuk menyambut kedatanganku!” ujar suamiku berkelakar. Hahay... seperti orang penting saja Abi ini! Orang Penting? Nah, pasti akan ada orang penting yang akan berkunjung ke Jasinga, tapi orang penting manakah yang akan lewat di Jalan Muray?

Aha, aku baru ingat! Sore tadi ketika aku berjalan-jalan di sekitar rumah mertuaku, tak jauh dari situ (kurang lebih 300 meter jauhnya) telah berdiri dengan megah sebuah gedung pasar yang baru di antara menghijaunya rumpun padi.

Besok pagi tanggal 24 Juni 2010, Gubernur Jawa Barat akan meresmikan pasar tersebut. Pantas saja jalan di depan rumah segera diperbaiki.
Tapi, kenapa harus menunggu Gubernur lewat ya untuk memperbaiki sebuah jalan yang teramat diperlukan warga?

Kalau Gubernur tak akan lewat, apakah jalan tak akan diperbaiki? Hatiku tergelitik oleh pertanyaan kecil seperti itu. Entahlah.... Yang jelas, malam ini kami bersyukur karena esok pagi mobil kami.... eh, mobil pinjaman kami ding! (heeee... ngaku-ngaku...) dapat melaju di jalan yang (agak) mulus. Alhamdulillah.

Kampung Muncang, 23 Juni 2010.
Pukul 10 malam, ketika suara mesin penggilas berhenti dan pekerja berlalu.
Senyap yg ada. Kemana kendaraan yg biasa melintas?
Ga tau deh! Aku ngantuk....zzzz.....

Sabtu, 22 Mei 2010

Suatu Hari di Pelataran Parkir Gedung Sekolah

Matahari telah meninggi. Perayaan milad di sebuah sekolah TK hampir saja berakhir. Mobil kami parkir ketika satu-persatu pengunjung mulai meninggalkan lokasi acara. Tinggal segelintir orang yang masih bertahan menyaksikan sisa acara. Bazar yang digelar pun sudah mulai sepi. Kami putuskan untuk pulang saja karena acara hampir berakhir.

Jumat, 16 April 2010

Jum'at, 16 April

Siang menjelang shalat Jum'at, Abimu pergi ke mesjid dengan raut cemas. Bukan apa-apa, sejak semalam tanda-tanda itu sudah nampak, tapi kenapa suster di rumah sakit menyuruh Umi untuk menunggu di rumah saja. Masih lama kata Suster. Umi jadi enggan untuk kembali ke rumah sakit, lebih baik di rumah saja menahan sakit dan mulas. Umi bisa mengerang sepuasnya di depan Mbah Uti tanpa dimarahi orang, sampai-sampai Umi lihat Mbah Uti menangis. Tapi itulah, akibat mengerang seenaknya, sekujur tubuh Umi basah. Keringat campur darah dan ketuban pecah. Aih... mana Abi? Untung shalat Jum'at segera berakhir, Abimu tergesa-gesa menelpon rumah sakit lewat telpon umum yang terletak di tembok luar kamar mandi masal barrack JC-5. Yups, waktu itu kita masih tinggal di Barrack JC yang sempit, tak ada fasilitas telpon di setiap rumah seperti saat ini, apalagi telpon genggam.

Kelihatannya Abi tidak berhasil untuk meminta ambulans datang, mungkin karena jam istirahat, atau diperkirakan belum tiba saatnya melahirkan, Umi tidak tahu. Untunglah Om Puji tetangga kita yang tinggal di JC-10 yang pegawai rumah sakit dan diberi fasilitas telpon segera menghubungi rumahsakit dan menerangkan keadaan Umi yang sudah tidak berdaya. Akhirnya datang juga ambulans dan perawat. Mereka tergesa-gesa masuk ke rumah dan segera mengangkat Umi ke atas tandu dibantu tetangga-tetangga sebelah rumah.

"Jangan mengejan ya, Bu! Tarik nafas saja dalam-dalam, jangan sampai melahirkan di kendaraan. Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit" pesan suster Yulita Theodora menenangkan. Sebenarnya jarak rumah sakit dan barak yang terletak dekat Padang Golf itu tidak terlalu jauh, tapi tetap saja terasa lama padahal ambulans sudah berjalan cukup kencang dengan suara sirinenya yg meraung.

Begitu sampai di rumah sakit Umi langsung dibawa ke ruang bersalin. Suster Ning, Suster Yulita dan Suster Ana yang membantu. Tepat jam 13.13 WITA, pecahlah tangismu di ruang bersalin RS. PT. Badak Bontang. Tangisan pertamamu Nak, di Jum'at siang 16 April, 17 tahun yang lalu.

Siang ini Umi mengingatnya kembali, berharap engkau di sana selalu diberi kesehatan, diberi umur yang barokah, menjadi anak yang sholeh dan dimudahkan rezekimu. Pandai-pandailah memilih teman, dan ingatlah... Allah selalu melihat apa yang kita perbuat.

Jadilah muslim yang shaleh anakku, agar kelak engkau bisa memimpin keluargamu. Jangan sekali-kali engkau mempersekutukan Allah. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah dengan rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya, serta lakukanlah dengan khusyu. Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan angkuh, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi angkuh.

Sungguh tak ada yang lebih membuat kami bahagia, selain meninggalkan dirimu dalam keadaan selalu beriman dan beramal sholeh, bahagia dunia dan akhirat.

Peluk cium buat sulungku : GUSTI PANGESTU

Minggu, 07 Februari 2010

Dari "Latihan Dasar Penulisan" bersama mbak Muthi Masfu'ah di PWP

“Semua bisa jadi penulis. Anak-anak saja bisa, apalagi kita…” Tulisan yang terpampang di LCD screen Ruang Seruni pada tanggal 10 Februari 2009 setahun yang lalu itu begitu sederhana, dibawakan oleh Mbak Muthi Masfuah dari FLP Kaltim. Tetapi justru kalimat sederhana itu menggelitik keinginan saya untuk mencoba sesuatu yang pernah menjadi angan-angan di masa remaja. Menulis, menulis, menulis… tapi menulis apa ya? Banyak ide berseliweran di kepala. Banyak kisah nyata dan pembangkit semangat yang sangat sayang untuk dilewatkan menjadi sebuah tulisan, tapi begitu tangan mulai menekan keyboard computer dan pikiran mencari kata-kata yang tepat untuk memulai sebuah tulisan, ide yang tadi serasa cemerlang menguap begitu saja. Buntu tanpa tahu jalan keluar dimana.

“Mulailah menulis apa saja yang kamu tahu. Menulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri” Nah, kalau yang ini sepertinya mudah ya? Mbak Muthi bisa saja membangkitkan semangat dengan mengutip kata-kata JK ROWLING. Kebetulan saya menemukan sebuah buku harian 20 thn yang lalu yang masih tersimpan, agak heran juga setelah menyadari dulu begitu mudahnya menuliskan perasaan hati walau untuk konsumsi sendiri, paling tidak dari tulisan tangan yang tanpa coretan itu kata-kata mengalir begitu saja bagaikan air tanpa sedikitpun ragu. Dan membacanya kembali di usia kepala 4 seperti ini menjadikannya seperti memutar sebuah film lama di kepala yang membuat hati tersedu dan kadang tertawa mengingatnya. Tapi itu dulu, kenyataannya saat ini ketika jemari mulai menari menekan huruf, lha kok jadi bertele-tele banget hasil tulisannya, banyak nggak nyambungnya, bolak-balik ngetik dan delete, waduh… ternyata sulit juga membuat tulisan.

“Jangan menyerah!” Hati kecil memberi semangat. Kan mbak Muthi juga menyampaikan “Menulis itu bagaikan berenang. Betapapun seringnya seseorang mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang renang, ia tetap tidak akan bisa berenang selama ia tidak menceburkan diri ke dalam kolam renang” Okelah kalau begitu mbak Muthi. Untuk menceburkan diri pada dunia menulis, akhirnya saya putuskan menuliskan apa-apa yang sudah mbak Muthi sampaikan pada 4x pertemuan Latihan Dasar Penulisan.

Menurut mbak Muthi syarat menjadi penulis itu adalah : Be your self, memiliki mimpi, memiliki cinta. Wow, ketiganya sudah kumiliki! Berarti saya bisa menjadi penulis kan? Tunggu dulu. Untuk menjadi penulis, ternyata ada beberapa tips yang harus dilakukan:

1. Berteman baik dengan buku, majalah, koran dan kamus.
2. Berdiskusi dengan teman, orang yang memiliki pengalaman / pengetahuan
3. Senang melakukan perjalanan
4. Membuat catatan untuk setiap peristiwa baik kejadian biasa maupun luar biasa
5. Menulis diary

Oow… tips yang mudah, tapi belum saya lakukan. Kelihatannya, saya belum bisa menjadi Penulis nih. :(