Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Minggu, 01 Juli 2012

Ketika Hobi Menjadi Bisnis


Kisah ini pernah kuikutkan audisi menulis Mompreuner, tapi nggak lolos.

"KUCING-KUCING ITU MEREPOTKANKU...."
Suatu hari di bulan Desember 2008 di kediaman seorang breeder di Bandung...
Astaga, 5 juta!!! Aku menggeleng tak percaya menatap dua ekor kucing pesek di hadapanku.  Bulunya indah tipe longhair, yang satu putih yang lainnya abu-abu. Tapi hatiku tetap tak setuju dengan harga semahal itu. Harap-harap cemas aku menatap suamiku, berharap ia melupakan keinginannya. Tapi apa mau dikata, obsesinya untuk memiliki sepasang kucing persia begitu menggebu walaupun hanya sekelas pet quality.  “Ini termasuk murah Bu, kalau di petshop mana dapat? Apalagi kalau Bapak ingin yang pignose & show quality, bisa 6 sampai 8 juta harganya per-ekor”  breeder  berusaha meyakinkan aku.  


“Oalah.. Abi.. Abi, kalau punya duit itu ya ndak usah neko-neko. Ingat Abi, uang segitu bisa buat nyumbang makan anak miskin berhari-hari. Jangan menyia-nyiakan harta!” aku berusaha membujuk suamiku. Uang segitu bagiku sangat besar.

“Sekali  ini saja ya, Umi..” pintanya.

“Itu baru harga kucingnya, belum surat-surat dan biaya perjalanan. Terus, kalau nanti mati di jalan, alangkah sia-sianya, Bi.” Aku teringat pada kucing persia kami terdahulu yang baru dipelihara 3 bulan, kemudian mati setelah diimunisasi. Akankah terulang lagi?

“Insyaallah nggak terjadi seperti itu, Umi sayang…” bisik suami mencoba menenangkanku.

“Kalaupun aman dalam perjalanan dan bisa kita pelihara di Bontang, berapa biaya yang harus dikeluarkan perhari? Mana makanannya harus impor lagi! Duh Abi, mendingan kita piara anak yatim saja deh, lebih berpahala, balas berbisik aku menjawab, masih mencoba menolak. Tapi suamiku tetap kukuh pada pendiriannya, apa dayaku? Kedua anak laki-lakiku tak kalah gencar medukung ayahnya, hadeuh... 

Akhirnya cuti tahun itu kami memboyong 2 ekor kucing persia dari Bandung ke tempat tinggal kami di Bontang, Kalimantan Timur. Repot banget menurutku.  Perjalanan kami cukup jauh, menyewa kendaraan travel dari Bandung ke Jakarta, penerbangan Jakarta-Balikpapan selama dua jam dan meneruskan perjalanan dengan penerbangan lain dari Balikpapan menuju Bontang. 

Surat keterangan vaksin memang sudah diurus oleh breeder, tapi melihat suami bolak-balik menelpon bagian karantina, aku jadi merasa terganggu. Belum lagi kami harus datang lebih awal ke bandara karena harus memeriksakan kucing kami di bagian karantina. Terkantuk-kantuk aku menanti urusan selesai. Tapi melihat ketiga jagoanku tersenyum senang melihat kucing baru mereka diperiksa dokter bagian karantina, aku jadi malu hati. Apa susahnya sih mengikuti kesenangan mereka?

Hari-hari berikutnya bisa ditebak, tugas kami bertambah. Apalagi kalau bukan memelihara dua ekor kucing, Pluto dan Mona? Setiap hari, kami harus menyikat bulunya, membuang kotorannya, membersihkan kandangnya juga mengisi ulang tempat makan dan minumnya yang kosong. Dan tentu saja aku yang kena getahnya toh, karena yang lebih banyak tinggal di rumah kan aku. Jadi pengawasan seharian tetap harus kulakukan. Pernah kucingnya keluar rumah dan jalan-jalan entah kemana, membuat kami sibuk mencarinya. Untunglah anak tetangga nun jauh di ujung sana dengan baik hati menemukan dan mengembalikan kucing kami. Kalau sampai hilang.. 5 juta bo!  Sungguh, kucing-kucing itu merepotkanku!

Seminggu sekali, kami harus memandikan mereka supaya bulunya bersih. Belum lagi kandang, peralatan, pasir, shampoo, parfum dan assessories yang harus kami beli, begitu juga pakan dan vitaminnya. Kalau dipikir-pikir seperti punya bayi lagi kami sekarang. Padahal anak bungsuku sendiri masih balita. Selain itu, warung ‘Pop Ice Zuka-zuka’ yang kukelola pun lagi ramai-ramainya. Repot banget! Tapi mau tak mau, akhirnya aku juga berusaha mencintai hobi yang satu ini. Aku mulai membaca buku-buku tentang memelihara dan membiakkan kucing. Mencoba mengerti jenis-jenis kucing ras dan pola warna bulunya seperti:  solid color, bicolor, tortoiseshell, smoke color, tabby color, chinchilla maupun Himalayan *swear.. sampai saat ini aku nggak hafal-hafal hehehe.

Saat-saat memandikan, menghanduki dan mengeringkan bulunya dengan hairdryer, aku sering menggoda suamiku, “Duh, segitu cintanya sama kucing, sampai-sampai shampoo & parfumnya saja lebih mahal dari shampoo anaknya. Hairdryer saja dibelikan. Bayangin.. Umi yang sudah bertahun-tahun menikah dengan Abi saja tidak pernah dibelikan hairdryer.”  Suamiku tertawa.

Beberapa pekan kemudian datang dua kotak paket dari Zoom Pet Care Bandung, isinya berbagai macam peralatan dan pakan untuk kucing, masing-masing jumlahnya lebih dari setengah lusin. Apa-apaan ini? Kucing hanya dua ekor kok peralatannya begitu banyak.  Apalagi ketika kulihat jumlah tagihan pada nota. Aku tak habis pikir. Sebanyak inikah?!

Tenang Umi…. Ini semua tidak akan mengganggu uang belanja Umi, hibur suamiku.

Mana mungkin??? aku membatin, membayangkan betapa borosnya kami untuk sebuah hobi *hanya dalam hati. Iyalah, mana tega protes. Suami telah memenuhi semua kebutuhanku, masa untuk hobinya yang satu ini saja aku tak rela. Padahal dalam hati memang agak gimana gitu..

Setiap hari, ada saja ceritanya tentang kucing. Belum lagi telpon yang berdering dari sesama pecinta kucing. Teman kami jadi bertambah dan pada akhirnya kucing-kucing cantik lain mampir ke rumah minta dimandikan, perlu pakan, perlu vitamin dan juga perlu shampo. Strategi pertama suamiku rupanya. Dengan senang hati ia membuka salon khusus kucing, menerima penitipan kucing bila si empunya sedang ke luar kota dengan tarif Rp. 30.000/hari dan menyediakan berbagai pakan dari harga bersahabat sampai harga konglomerat (deu… gaya, pake bawa-bawa konglomerat segala, padahal harga pakannya waktu itu paling banter 120 ribu/kg).  Untungnya, di kota Bontang waktu itu jarang orang menjual pakan kucing. Ini sebuah kesempatan. Aha! Aku mulai mengerti maksud suamiku *waduh, lambatnya naluri bisnismu dik.

Strategi berikutnya, tentu saja mengembang-biakkan kucing kami. Sayangnya Mona yang waktu kami adopsi sedang hamil, hanya beranak satu dan anaknya itupun mati sesaat setelah dilahirkan. Setelah itu Mona tak pernah mau dikawini, baik oleh Pluto ataupun pejantan lainnya. Alhasil, kucing kami tak pernah bertambah.  

Untunglah beberapa teman pecinta kucing mau mengantarkan kucing betinanya yang sedang birahi untuk dikawin Pluto. Jadilah kami mak comblang untuk Pluto dan kucing-kucing ras lainnya (jenis angora dan persia). Lama-lama kami jadi hafal mana kucing yang sedang birahi dan mana yang tidak.  Sudah banyak kucing betina yang diantar. Tapi timing untuk mengawinkan mereka harus tepat. Kadang sudah berhari-hari mereka tidak juga kawin karena tak mau saling kenal atau bahkan bertengkar hebat *menggeram dan memamerkan taring, ih.. aku paling ngeri kalau lihat adegan ini. Atau salah satu sudah tidak birahi lagi, sehingga percuma saja mereka disatukan dalam kandang.

Kalaupun berhasil kawin, tidak semua anakan bisa hidup sampai dewasa. Kadang satu-persatu anakan mati karena penyakit perut, dan tragisnya sulit untuk mencari dokter hewan yang exist di kota ini. Begitulah yang terjadi di awal kami berniat mengembang-biakan Pluto dan Mona. Hal ini jelas membuat anak-anak dan suamiku bersedih. Tapi sedih tak membuat kami patah semangat. Kami mencoba lagi dan lagi. Senangnya ketika Katie, seekor  persia betina muda jenis Himalayan kepunyaan teman dikawinkan dengan Pluto dan menghasilkan dua ekor anakan. Persia euy dan… hidungnya pesek! Warnanya putih dan abu-abu, Tieto dan Totie namanya (maksudnya singkatan dari kaTIE & PluTO). Belum sempat kami memeliharanya, seorang teman lain telah mengadopsinya dan mengganti biaya pemeliharaan dengan jumlah yang tidak sedikit *nah bagian ini yang mulai kusuka hihihi...

Begitulah, kami terus mengembang-biakan kucing-kucing kami sehingga makin lama makin banyak. Oow… mengapa memperbanyak kucing, bukankah biaya perawatannya mahal? Eits.. tunggu dulu, dari pengalaman yang lalu seekor anakkan kucing angora berumur 2 bulan, tipe pet quality bisa dihargai antara Rp 700.000,- s/d Rp 1.000.000,- per ekor. Kalau persia bisa lebih tinggi lagi, makin pesek makin berharga. Belum lagi kalau komunitas pecinta kucing bertambah, bukankah pakan dan accessoriesnya akan semakin dicari orang? Betul itu!  Setelah setahun kami memelihara Pluto dan Mona, kami tak lagi mengeluarkan rupiah untuk biaya perawatan mereka. Semua didapatkan dari hasil adopsi, penjualan pakan dan assesoriesnya. Hobi yang pada awalnya menguras kantong akhirnya mendatangkan keuntungan. Jadi sah-sah saja kan bila kukatakan kucing kami menyerupai mesin ATM? *hihihi..

Tapi bukan bisnis namanya kalau tanpa kendala. Ada saja orang yang kurang terbuka ketika bekerja sama. Misalnya ketika betina mereka berhasil kawin dengan Pluto. Kami tak pernah minta bayaran, walaupun proses perkawinan itu bisa menyebabkan kucing mereka tinggal di tempat kami berhari-hari dan menjadi urusan kami baik pemeliharaan maupun pakannya, pamali atuh! 

Kami biasanya hanya minta separuh anakannya kalau kelak lahir. Kalau yang lahir 2, berarti jatah kami satu. Kalau kelak yang lahir 3, kami biasanya sudah membicarakan dari awal kemungkinan-kemungkinan yang tentu saja sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Tapi pada kenyataannya, ada saja rekan yang dengan semena-mena menentukan sendiri keinginannya tanpa menghiraukan kesepakatan semula. Ya sudahlah, tak mengapa.

Pernah pula kejadian, seorang rekan mengantarkan kucingnya dengan alasan sedang birahi. Oke, dengan senang hati kami menampungnya. Tapi setelah beberapa hari, kucing tersebut hanya menggeram marah. Boro-boro didekati pejantan, dibelai oleh kami pun dia menjerit. Jauh banget dari tingkah kucing birahi. Kenapa nih? Kami putuskan untuk menelpon sang empunya untuk mengambil kucingnya, ternyata sang empunya sedang cuti ke luar kota. Ya ampun, teganya tuh orang, dengan alasan birahi dia menitipkan kucingnya pada kami padahal maksudnya cuma nitip *maunya menginap gratisan huh.

Yang paling menyedihkan, ketika kucing anakan yang sehat sudah diadopsi, dibayar tunai dan dibawa oleh tuan barunya, ternyata dalam pemeliharaannya anakan itu sakit dan akhirnya mati. Entah karena salah pakan, kedinginan atau alasan lain. Tentu saja walau sudah dibeli, kami tak tega berpangku tangan. Suamiku rela mengembalikan uangnya.

Tak terasa waktu berlalu, Pluto semakin tua. Mona sudah lama kami hibahkan pada teman. Ada si Manis, seekor angora betina yang selalu menghasilkan anakan dengan bulu lebat. Entah sudah berapa banyak anakan mereka yang berpindah tuan. Aku kadang berpikir, sampai kapan kami akan terus memanfaatkan mereka? 

Seorang teman anakku pernah bertanya, “Tante, nggak kasihankah memisahkan si Manis dan anak-anaknya? Bagaimana perasaan si Manis ya,  lagi senang-senangnya menyusui, eh anaknya diambil orang.”  Pertanyaan bercanda tapi menusuk juga. 

Aku juga pernah membaca artikel agama mengenai pendapat sebagian ulama yang mengharamkan berjual beli kucing. Hatiku mulai resah,  merasa tidak nyaman untuk meneruskan bisnis ini. Itu kuutarakan pada suamiku. Ia tak banyak mendebat. Tapi akhir-akhir ini, kulihat ia pun mulai kendor mengembang-biakan kucing-kucingnya, walau sebenarnya selalu saja ada peminat bahkan dari luar kota seperti Samarinda dan memberi harga pantas. 

Beberapa kali kulihat ia memberikan kucingnya secara gratis pada orang yang ingin memelihara. Masih ada Pluto, Manis dan Chiko di kamar belakang sampai saat ini yang tetap kami pelihara dengan baik. Hobi suamiku kini beralih ke sepeda gunung dan berolah raga setiap sore.  Aku sendiri setahun ini menekuni hobi membuat kue dan mulai mendapat banyak pelanggan. Cukup lelah dan menyita waktu memang, tapi kupikir bisnis ini lebih cocok buatku. Semoga ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar