Kisah ini pernah kuikutkan audisi menulis Mompreuner, tapi nggak lolos.
"KUCING-KUCING ITU MEREPOTKANKU...."
Suatu
hari di bulan Desember 2008 di kediaman seorang breeder di Bandung...
Astaga,
5 juta!!! Aku menggeleng tak percaya menatap dua ekor kucing pesek di hadapanku. Bulunya indah tipe longhair, yang satu putih yang lainnya abu-abu. Tapi hatiku tetap
tak setuju dengan harga semahal itu. Harap-harap cemas aku menatap suamiku,
berharap ia melupakan keinginannya. Tapi apa mau dikata, obsesinya untuk
memiliki sepasang kucing persia
begitu menggebu walaupun hanya sekelas pet
quality. “Ini termasuk murah Bu, kalau di petshop
mana dapat?
Apalagi kalau Bapak
ingin yang pignose & show quality,
bisa 6 sampai 8 juta harganya per-ekor” breeder
berusaha meyakinkan aku.
“Oalah..
Abi.. Abi,
kalau punya duit itu ya ndak usah neko-neko. Ingat Abi,
uang segitu bisa buat nyumbang makan anak miskin berhari-hari. Jangan
menyia-nyiakan harta!”
aku berusaha membujuk suamiku. Uang segitu
bagiku sangat besar.
“Sekali ini saja ya, Umi..” pintanya.
“Itu baru harga kucingnya, belum surat-surat dan biaya perjalanan. Terus, kalau nanti mati di jalan, alangkah sia-sianya, Bi.” Aku teringat pada kucing persia kami terdahulu yang baru dipelihara 3 bulan, kemudian mati setelah diimunisasi. Akankah terulang lagi?
“Insyaallah nggak terjadi seperti itu, Umi sayang…” bisik suami mencoba menenangkanku.
“Kalaupun aman dalam perjalanan dan bisa kita pelihara di Bontang, berapa biaya yang harus dikeluarkan perhari? Mana makanannya harus impor lagi! Duh Abi, mendingan kita piara anak yatim saja deh, lebih berpahala,” balas berbisik aku menjawab, masih mencoba menolak. Tapi suamiku tetap kukuh pada pendiriannya, apa dayaku? Kedua anak laki-lakiku tak kalah gencar medukung ayahnya, hadeuh...
Akhirnya cuti tahun itu kami memboyong 2 ekor kucing persia dari Bandung ke tempat tinggal kami di Bontang, Kalimantan Timur. Repot banget menurutku. Perjalanan kami cukup jauh, menyewa kendaraan travel dari Bandung ke Jakarta, penerbangan Jakarta-Balikpapan selama dua jam dan meneruskan perjalanan dengan penerbangan lain dari Balikpapan menuju Bontang.
Surat keterangan vaksin memang sudah diurus oleh breeder, tapi melihat suami bolak-balik menelpon bagian karantina, aku jadi merasa terganggu. Belum lagi kami harus datang lebih awal ke bandara karena harus memeriksakan kucing kami di bagian karantina. Terkantuk-kantuk aku menanti urusan selesai. Tapi melihat ketiga jagoanku tersenyum senang melihat kucing baru mereka diperiksa dokter bagian karantina, aku jadi malu hati. Apa susahnya sih mengikuti kesenangan mereka?
Hari-hari
berikutnya bisa ditebak, tugas kami bertambah. Apalagi kalau bukan memelihara
dua ekor kucing,
Pluto dan Mona?
Setiap hari, kami harus menyikat bulunya, membuang kotorannya,
membersihkan kandangnya juga mengisi ulang tempat makan dan minumnya yang
kosong. Dan tentu saja aku yang kena
getahnya toh, karena yang lebih banyak tinggal di rumah kan aku. Jadi
pengawasan seharian tetap harus kulakukan. Pernah kucingnya keluar rumah dan
jalan-jalan entah kemana, membuat kami sibuk mencarinya. Untunglah anak
tetangga nun jauh di ujung sana dengan baik hati menemukan dan mengembalikan
kucing kami. Kalau sampai hilang.. 5 juta bo!
Sungguh, kucing-kucing itu merepotkanku!
Seminggu
sekali, kami harus memandikan mereka supaya bulunya bersih. Belum
lagi kandang, peralatan, pasir, shampoo, parfum dan assessories yang harus kami
beli, begitu
juga pakan dan vitaminnya.
Kalau dipikir-pikir seperti punya bayi
lagi kami sekarang. Padahal anak
bungsuku sendiri masih balita. Selain itu, warung ‘Pop Ice Zuka-zuka’ yang
kukelola pun lagi ramai-ramainya. Repot banget! Tapi mau tak mau, akhirnya aku
juga berusaha mencintai hobi yang satu ini. Aku
mulai membaca buku-buku tentang memelihara dan membiakkan kucing. Mencoba
mengerti jenis-jenis kucing ras dan pola warna bulunya seperti: solid
color, bicolor, tortoiseshell, smoke color, tabby color, chinchilla maupun Himalayan *swear.. sampai saat ini aku nggak hafal-hafal hehehe.
Saat-saat
memandikan, menghanduki dan mengeringkan bulunya dengan hairdryer, aku sering menggoda suamiku, “Duh, segitu cintanya sama
kucing, sampai-sampai shampoo & parfumnya saja lebih mahal dari shampoo
anaknya. Hairdryer saja dibelikan.
Bayangin.. Umi
yang sudah bertahun-tahun menikah dengan Abi
saja tidak pernah dibelikan hairdryer.” Suamiku tertawa.
Beberapa
pekan kemudian datang dua kotak paket dari Zoom Pet Care Bandung, isinya berbagai
macam peralatan dan pakan untuk kucing, masing-masing jumlahnya lebih dari
setengah lusin. Apa-apaan ini?
Kucing hanya dua ekor
kok peralatannya begitu banyak. Apalagi
ketika kulihat jumlah tagihan pada nota. Aku tak habis pikir. Sebanyak inikah?!
“Tenang Umi…. Ini semua tidak akan mengganggu uang belanja Umi,” hibur suamiku.
“Mana mungkin???” aku membatin, membayangkan betapa borosnya kami untuk sebuah hobi *hanya dalam hati. Iyalah, mana tega protes. Suami telah memenuhi semua kebutuhanku, masa untuk hobinya yang satu ini saja aku tak rela. Padahal dalam hati memang agak gimana gitu..
Setiap
hari, ada saja ceritanya tentang kucing. Belum lagi telpon yang berdering dari
sesama pecinta kucing. Teman kami jadi
bertambah dan
pada akhirnya kucing-kucing
cantik lain mampir ke rumah minta dimandikan, perlu
pakan, perlu vitamin dan juga perlu shampo. Strategi pertama suamiku rupanya. Dengan
senang hati ia membuka salon khusus kucing,
menerima penitipan kucing bila si empunya sedang ke luar
kota dengan tarif Rp. 30.000/hari dan menyediakan berbagai pakan dari harga
bersahabat sampai harga konglomerat (deu… gaya, pake bawa-bawa konglomerat
segala, padahal harga pakannya waktu itu paling banter 120 ribu/kg). Untungnya, di kota Bontang waktu itu jarang
orang menjual pakan kucing. Ini sebuah kesempatan. Aha! Aku mulai mengerti
maksud suamiku *waduh, lambatnya naluri bisnismu dik.
Strategi
berikutnya, tentu saja
mengembang-biakkan
kucing kami. Sayangnya Mona yang
waktu kami adopsi sedang hamil, hanya beranak satu dan anaknya itupun mati
sesaat setelah dilahirkan. Setelah itu Mona tak pernah mau dikawini, baik oleh Pluto ataupun
pejantan lainnya. Alhasil, kucing kami tak pernah bertambah.
Untunglah beberapa teman pecinta kucing mau mengantarkan kucing betinanya yang sedang birahi untuk dikawin Pluto. Jadilah kami mak comblang untuk Pluto dan kucing-kucing ras lainnya (jenis angora dan persia). Lama-lama kami jadi hafal mana kucing yang sedang birahi dan mana yang tidak. Sudah banyak kucing betina yang diantar. Tapi timing untuk mengawinkan mereka harus tepat. Kadang sudah berhari-hari mereka tidak juga kawin karena tak mau saling kenal atau bahkan bertengkar hebat *menggeram dan memamerkan taring, ih.. aku paling ngeri kalau lihat adegan ini. Atau salah satu sudah tidak birahi lagi, sehingga percuma saja mereka disatukan dalam kandang.
Untunglah beberapa teman pecinta kucing mau mengantarkan kucing betinanya yang sedang birahi untuk dikawin Pluto. Jadilah kami mak comblang untuk Pluto dan kucing-kucing ras lainnya (jenis angora dan persia). Lama-lama kami jadi hafal mana kucing yang sedang birahi dan mana yang tidak. Sudah banyak kucing betina yang diantar. Tapi timing untuk mengawinkan mereka harus tepat. Kadang sudah berhari-hari mereka tidak juga kawin karena tak mau saling kenal atau bahkan bertengkar hebat *menggeram dan memamerkan taring, ih.. aku paling ngeri kalau lihat adegan ini. Atau salah satu sudah tidak birahi lagi, sehingga percuma saja mereka disatukan dalam kandang.
Kalaupun
berhasil kawin, tidak semua anakan bisa hidup sampai dewasa. Kadang
satu-persatu anakan
mati karena penyakit perut, dan tragisnya sulit untuk mencari dokter hewan yang
exist di kota ini. Begitulah yang terjadi di awal kami berniat
mengembang-biakan Pluto dan Mona. Hal ini jelas membuat anak-anak dan suamiku
bersedih. Tapi sedih tak membuat kami patah semangat. Kami mencoba lagi dan lagi. Senangnya ketika Katie,
seekor persia betina muda jenis
Himalayan kepunyaan teman dikawinkan dengan Pluto dan menghasilkan dua ekor
anakan. Persia euy dan… hidungnya pesek! Warnanya putih dan abu-abu, Tieto dan
Totie namanya (maksudnya singkatan dari kaTIE & PluTO). Belum sempat kami
memeliharanya, seorang teman lain telah mengadopsinya dan mengganti biaya
pemeliharaan dengan jumlah yang tidak sedikit *nah bagian ini yang mulai kusuka
hihihi...
Begitulah,
kami terus mengembang-biakan kucing-kucing kami sehingga makin lama makin
banyak. Oow… mengapa memperbanyak kucing,
bukankah biaya perawatannya mahal? Eits..
tunggu dulu, dari pengalaman yang lalu seekor
anakkan kucing angora berumur 2
bulan, tipe pet quality bisa dihargai antara Rp 700.000,- s/d Rp 1.000.000,- per ekor. Kalau persia bisa lebih tinggi lagi, makin pesek makin
berharga. Belum lagi kalau komunitas pecinta
kucing bertambah, bukankah pakan dan accessoriesnya akan semakin dicari orang?
Betul itu! Setelah setahun kami
memelihara Pluto dan Mona, kami tak lagi mengeluarkan rupiah untuk biaya
perawatan mereka. Semua didapatkan dari hasil adopsi, penjualan pakan dan
assesoriesnya. Hobi yang pada awalnya menguras kantong akhirnya mendatangkan
keuntungan. Jadi sah-sah saja kan bila kukatakan kucing kami menyerupai mesin
ATM? *hihihi..
Tapi
bukan bisnis namanya kalau tanpa kendala. Ada saja orang yang kurang terbuka
ketika bekerja sama. Misalnya ketika betina mereka berhasil kawin dengan Pluto.
Kami tak pernah minta bayaran, walaupun proses perkawinan itu bisa menyebabkan
kucing mereka tinggal di tempat kami berhari-hari dan menjadi urusan kami baik
pemeliharaan maupun pakannya, pamali atuh!
Kami biasanya hanya minta separuh anakannya kalau kelak lahir. Kalau yang lahir 2, berarti jatah kami satu. Kalau kelak yang lahir 3, kami biasanya sudah membicarakan dari awal kemungkinan-kemungkinan yang tentu saja sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Tapi pada kenyataannya, ada saja rekan yang dengan semena-mena menentukan sendiri keinginannya tanpa menghiraukan kesepakatan semula. Ya sudahlah, tak mengapa.
Kami biasanya hanya minta separuh anakannya kalau kelak lahir. Kalau yang lahir 2, berarti jatah kami satu. Kalau kelak yang lahir 3, kami biasanya sudah membicarakan dari awal kemungkinan-kemungkinan yang tentu saja sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Tapi pada kenyataannya, ada saja rekan yang dengan semena-mena menentukan sendiri keinginannya tanpa menghiraukan kesepakatan semula. Ya sudahlah, tak mengapa.
Pernah
pula kejadian, seorang rekan mengantarkan kucingnya dengan alasan sedang birahi.
Oke, dengan senang hati kami menampungnya. Tapi setelah beberapa hari, kucing
tersebut hanya menggeram marah. Boro-boro didekati pejantan, dibelai oleh kami
pun dia menjerit. Jauh banget dari tingkah kucing birahi. Kenapa nih? Kami
putuskan untuk menelpon sang empunya untuk mengambil kucingnya, ternyata sang
empunya sedang cuti ke luar kota. Ya ampun, teganya tuh orang, dengan alasan
birahi dia menitipkan kucingnya pada kami padahal maksudnya cuma nitip *maunya menginap
gratisan huh.
Yang
paling menyedihkan, ketika kucing anakan yang sehat sudah diadopsi, dibayar
tunai dan dibawa oleh tuan barunya, ternyata dalam pemeliharaannya anakan itu
sakit dan akhirnya mati. Entah karena salah pakan, kedinginan atau alasan lain.
Tentu saja walau sudah dibeli, kami tak tega berpangku tangan. Suamiku rela
mengembalikan uangnya.
Tak
terasa waktu berlalu, Pluto semakin tua. Mona sudah lama kami hibahkan pada
teman. Ada si Manis, seekor angora betina yang selalu menghasilkan anakan
dengan bulu lebat. Entah sudah berapa banyak anakan mereka yang berpindah tuan.
Aku kadang berpikir, sampai kapan kami akan terus memanfaatkan mereka?
Seorang teman anakku pernah bertanya, “Tante, nggak kasihankah memisahkan si Manis dan anak-anaknya? Bagaimana perasaan si Manis ya, lagi senang-senangnya menyusui, eh anaknya diambil orang.” Pertanyaan bercanda tapi menusuk juga.
Aku juga pernah membaca artikel agama mengenai pendapat sebagian ulama yang mengharamkan berjual beli kucing. Hatiku mulai resah, merasa tidak nyaman untuk meneruskan bisnis ini. Itu kuutarakan pada suamiku. Ia tak banyak mendebat. Tapi akhir-akhir ini, kulihat ia pun mulai kendor mengembang-biakan kucing-kucingnya, walau sebenarnya selalu saja ada peminat bahkan dari luar kota seperti Samarinda dan memberi harga pantas.
Beberapa kali kulihat ia memberikan kucingnya secara gratis pada orang yang ingin memelihara. Masih ada Pluto, Manis dan Chiko di kamar belakang sampai saat ini yang tetap kami pelihara dengan baik. Hobi suamiku kini beralih ke sepeda gunung dan berolah raga setiap sore. Aku sendiri setahun ini menekuni hobi membuat kue dan mulai mendapat banyak pelanggan. Cukup lelah dan menyita waktu memang, tapi kupikir bisnis ini lebih cocok buatku. Semoga ya.
Seorang teman anakku pernah bertanya, “Tante, nggak kasihankah memisahkan si Manis dan anak-anaknya? Bagaimana perasaan si Manis ya, lagi senang-senangnya menyusui, eh anaknya diambil orang.” Pertanyaan bercanda tapi menusuk juga.
Aku juga pernah membaca artikel agama mengenai pendapat sebagian ulama yang mengharamkan berjual beli kucing. Hatiku mulai resah, merasa tidak nyaman untuk meneruskan bisnis ini. Itu kuutarakan pada suamiku. Ia tak banyak mendebat. Tapi akhir-akhir ini, kulihat ia pun mulai kendor mengembang-biakan kucing-kucingnya, walau sebenarnya selalu saja ada peminat bahkan dari luar kota seperti Samarinda dan memberi harga pantas.
Beberapa kali kulihat ia memberikan kucingnya secara gratis pada orang yang ingin memelihara. Masih ada Pluto, Manis dan Chiko di kamar belakang sampai saat ini yang tetap kami pelihara dengan baik. Hobi suamiku kini beralih ke sepeda gunung dan berolah raga setiap sore. Aku sendiri setahun ini menekuni hobi membuat kue dan mulai mendapat banyak pelanggan. Cukup lelah dan menyita waktu memang, tapi kupikir bisnis ini lebih cocok buatku. Semoga ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar