Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Sabtu, 21 Juli 2012

Hari pertama di Ramadhan 1432 H

Pagi tadi Dhiya berdoa, "Semoga hari ini berlalu dengan cepat. Dari pagi langsung jam 6 sore."
Aku sih tersenyum saja. Dalam hati berharap puasa tahun ini bisa dilalui Dhiya full seperti puasa-puasa sebelumnya. Lalu kuceritakan padanya tentang ulah Kakak Bagas & Kakak Gusti di bulan puasa pada saat seusianya saat menanti adzan mahgrib.



Salah satunya, Bagas yang selalu bertanya setiap adzan berkumandang. Adzan dhuhur dikira sudah boleh buka, Adzan Ashar begitu pula. Sampai ia pingin puasa setengah hari saja. Waktu itu kukatakan padanya, puasa orang Islam itu ya mulai terbit matahari sampai terbenam matahari. Kalau puasa setengah hari, itu bukan puasa namanya tapi belajar menahan lapar. Untunglah Bagas mengerti dan menyelesaikan puasanya sampai waktu berbuka tiba walau sebentar-sebentar ia berkicau tentang perih perutnya.

Belum lagi permintaannya yang macam-macam menjelang buka. Pun jatah Rp. 3.000/hari sebagai imbalan puasanya. Hihihi.. dasar anak-anak. Kululuskan semua permintaannya hanya agar ia mengenal dan menjalankan ibadah puasa. Alhamdulillah, cuma tahun pertama ia puasa seperti itu. Aku maklum saja, usianya baru 6 tahun. Toh untuk puasa-puasa berikutnya tak perlu memakai janji ini itu, Bagas melakukan puasa dengan senang hati.

Lain lagi dengan kakak Gusti. Usia 4 tahun saat duduk di TK kecil, ia sudah minta ikut puasa. Tentu saja kami khawatir. Suamiku malah sampai melarangnya, takut apa-apa. Ah, kekhawatiran yang berlebihan. Betapa Allah memberi kekuatan buat Gusti kecil. Buktinya Kakak Gusti bisa menyelesaikan puasanya, walau dalam hausnya ia sering duduk di depan kulkas yang terbuka, mencari kesejukan. Lucu kalau inget kejadian itu.

Alhamdulillah, Dhiya jadi semangat mendengar cerita-cerita tersebut. Kalau kakak-kakaknya saja selalu puasa penuh, Umi yakin Dhiya juga bisa :)

Hari pertama terlewati sudah. Siang tadi sempat Dhiya menggerutu ingin berbuka, dengan alasan hendak membayar puasanya nanti. Abi, yang sekarang sudah terbiasa menghadapi anak kecil puasa justru sekarang membujuk agar Dhiya meneruskan puasanya. "Kalau musti membayar kan tetap juga harus puasa sehari penuh nantinya, Dhi. Apa enak puasa sendiri, sedangkan yang lain tidak puasa?"
Hm, disini letak perbedaan puasa Dhiya dan kakak-kakaknya. Seusia Dhiya, sang kakak berpuasa karena ingin atau karena ikut-ikut, bukan karena tahu bahwa itu kewajiban. Sedangkan Dhiya, sejak kecil sudah kami tanamkan bahwa puasa ramadhan itu wajib hukumnya, sehingga bila meninggalkan harus membayar di lain hari. Lebih dini ia mengenal perintah agamanya, lebih mudah melatihnya.

Saat berbuka, Dhiya mengambil bakwan yang dibuat mbah Uti banyak-banyak. Kelihatan sekali kalau ia lapar berat. Sebenarnya ia tadi minta dibelikan kebab King. Tapi karena keburu sore, kami tak sempat membelinya. Jadilah hari ini kami berbuka dengan kurma, bakwan dan secangkir minuman hangat. Alhamdulillah. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan?

Menjelang shalat isya, kupikir Dhiya sudah lupa pada keinginannya. Ternyata, ia menagih janji pada Abinya, "Ayo na Bi, beli kebab King!"
Olala... masih lapar rupanya dia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar