Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Sabtu, 29 Oktober 2011

Akhir yang berbeda

Dia datang dengan penampilan paling sederhana, kaos bola dan sandal jepit. Dia yang baru tamat SMEA sebulan sebelumnya, berharap bisa tinggal di rumah kami. Usianya masih belasan tahun, hanya terpaut setahun di atas usia anakku yang sulung. Tentu saja kami tak keberatan, dengan syarat ia bisa mematuhi semua peraturan yang telah kami sepakati bersama.



Bukan hal mudah memberi aturan untuk orang yang masih asing, tapi bukan berarti tidak bisa. Adakalanya wajahnya ketakutan bila melakukan hal yang kurang berkenan, kadang pula mesti berkali-kali mengulangi nasihat yang sama. Semua butuh proses.

Tak terlalu lama rupanya. Hanya butuh waktu 7 bulan saja ia bisa menunjukkan kalau ia bisa mandiri. Penghasilan yang didapatnya setiap bulan, setelah dikurangi pengeluaran bulanan dan mengirim ibunya, selalu ditabungnya. Makan apa yang ada di meja, tak boros dengan barang-barang yang tak perlu. Tak heran bila dalam waktu singkat ini ia bisa membeli motor baru sendiri, cash.

Penuh santun, ia pamit untuk lepas dari kami, mau ngontrak kamar sendiri di luar komplek. Tak lupa ia ucapkan terimakasih karena dianggapnya kami telah membimbingnya. Ia pun minta maaf untuk hal-hal yang tak berkenan selama ikut kami. Sungguh kami tak menyangka, ia bisa bersikap dewasa di usia belianya. Kami pun lega melepasnya.

Berbeda dengan yang satunya. Datang tanpa diundang dengan gaya perlente. Sepatu dan baju bermerk terkenal. Usianya sudah kepala 3, usia yang cukup matang untuk berpikir dan bertindak dewasa. Tapi, seperti yang sudah-sudah. Kedatangannya selalu membawa masalah. Tak pernah ada keinginan untuk berubah, kalaupun berjanji selalu mengingkari. Kerja belum tetap sudah punya segudang niat, beli ini-itu yang ujung-ujungnya buat penampilan doang. Mending kalau uangnya hasil keringat sendiri, kenyataannya uang yang dihambur-hamburkan lebih sering dia dapat dari berhutang. Iya kalau akhirnya kelak ia punya niat membayar. Tapi seperti yang sudah-sudah, ia tetap tak berubah. Musti diberi kesempatan berapa kali lagi? Nasihat tak pernah ia butuhkan. Ia hanya butuh uang, uang dan uang. Tak menghargai peraturan di rumah kami, tak bisa menepati janji dan berlaku seenaknya sendiri.

Hari ini dia pergi. Tanpa pamit dan basa-basi. Mungkin hanya marah dan dengki yang ada di hati, dipikirnya kami tak peduli dan tak mau direpoti. Ah, sudahlah. Buat apa buang-buang energi untuk seorang yang tak peduli. Berubah tak perlu memakai janji. Cukup niat dan berikan bukti!

Dua akhir yang berbeda. Menyadarkan aku akan sebuah fakta, usia bukan jaminan seseorang untuk bersikap dewasa.


Bontang, 29 Oktober 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar