Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Minggu, 06 November 2011

Pernah kubayangkan...

Ketika memberinya nama BAGAS LANGLANG BUANA, seuntai doa terselip semoga kelak ia menjadi insan mandiri yang kuat di mana pun ia berada. Terbang, terbanglah jauh mengelilingi dunia, anakku. Bukankan di belahan bumi manapun adalah bumi Allah juga. Aku kan bangga...



Bangga? Ah, kurasa aku harus mengoreksi kata yang satu itu. Akhir-akhir ini kudapati ia mulai menunjukkan minat yang serius untuk masa depannya. Sepakbola. Kupikir ini hanya hobi, kalaupun ia serius mengatakan cita-citanya sebagai pemain sepakbola, kupikir itu hanya isapan jempol. Apalagi waktu tamat SD dia bilang mau melanjutkan ke sekolah bola. Aih... paling-paling juga karena terbawa teman. Toh selama ini yang namanya hobi hanya mencuat sesekali, mengikuti ritme musim yang sedang berlangsung. Setelah itu padam kembali.

Tapi sepertinya kali ini aku salah. Makin hari, ia makin serius. Saat ini dia sudah duduk di kelas IX, dan beberapa hari yang lalu dia bilang, "Umi, aku nggak mau kuliah. Kata guruku, kalau kita sudah mulai malas belajar jangan melanjutkan ke SMA. Aku mau masuk SMK saja."

Tentu saja tanya jawab jadi menu berikutnya, beberapa argumennya kena di hatiku juga, tapi aku belum percaya, anak kecil gitu lho.. kok sudah serius membahas masa depannya. Kakaknya yg sudah duduk di kelas XII saja masih mikir-mikir untuk langkah selanjutnya. Lha ini yang lebih kecil kok malah sudah punya visi jauh ke depan. Dia bukan murid yang tak pandai. Nilai-nilainya cukup memuaskan bagiku, walaupun bukan kelas unggulan. Ia bisa mengejar ketinggalan, walaupun selalu bilang, aku nggak bakalan masuk kelas pintar. Ah, Umi tak perlu kelas pintar, Nak. Nilaimu di atas standard aja telah membuat Umi percaya kalau sebenarnya kamu bisa.

Aku menimbang-nimbang, tak mau memaksakan kehendak pun tak ingin ia berpendidikan hanya SMK... dilema. Semoga seiring waktu, ia berpikir ulang.

Tapi semalam, tak kuduga ia minta ijin untuk pergi ke Samarinda dini hari. Begitu mendadaknya. Ternyata setelah kami konfirmasi dengan pelatih dan manajer SSB Kompak, ada agenda yang menyangkut masa depannya. Ada semacam seleksi dari klub bola dunia. "Kalau ini berhasil, aku berhenti sekolah ya," katanya. Deg, hatiku berdegup. Antara senang dan khawatir. Ini baru seleksi, aku takut dia bakal kecewa kalau hasilnya tak sesuai harapan. Tapi ternyata aku salah. Ketika Abinya antusias mendoakan dan berangan-angan mimpi anaknya menjadi nyata, justru dia berucap, "Abi, kalau menghayal itu jangan ketinggian, kalau jatuh nanti sakit rasanya. Biasa-biasa aja lagi. Doakan aja aku."
"Bagaimana kalau di antara kalian berempat, hanya bertiga yang lolos sedangkan yang satu nggak?"
"Namanya juga seleksi, ya harus terima keputusan. Sportif-lah. Kalau gagal ya jangan putus asa. Jalan masih panjang. Masih ada kesempatan berikutnya."

Aku, ah.. apa yang harus kukatakan? Tak mengira ia lebih bijak dari yang kami bayangkan. Dulu... aku memang pernah membayangkan, kelak ia menjadi kebanggaan dunia *menghayal boleh kan?. Tapi ketika ia minta ijin untuk memulainya semalam, justru hatiku berbalut kalut. Secepat inikah harus memulai. Dia masih laki-laki kecilku, yang rasanya baru kemarin kutimang. Antara harap dan doa, mataku memanas, ada bulir bening yang menetes, sebait doa kembali terucap, "Semoga mimpimu menjadi nyata, Nak."


Bontang, 7 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar