Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Senin, 16 April 2012

Bawa duit dong...

Waktu masih bekerja sebagai Clerk di Maintenance Planning Section, aku sering kebagian tugas mengumpulkan uang iuran dan sumbangan dari pekerja yang ada di kantorku . Biasanya aku mengedarkan list sumbangan, menanti mereka mengisi dengan nama dan nominal, menerima dan menghitung uang pemberian mereka. Beberapa pekerja biasanya langsung memberikan uangnya, tapi seringkali pula ada yang hanya menulis nama tapi uangnya belakangan. Ada juga yang menolak dengan alasan tidak membawa uang, atau dompetnya ketinggalan.



Mulanya kupikir mereka memang lupa nggak bawa dompet, tapi setelah seringkali kejadian, setiap aku menagih ada saja yang alasannya nggak bawa dompet, bahkan ada yang memperlihatkan dompetnya yang kosong, aku jadi geleng-geleng kepala. Memangnya bapak-bapak tidak pernah bawa uang ya ? Hm, kalau kupikir.. bisa jadi ya. Soalnya jarak lingkungan perumahan ke tempat kerja tidak terlalu jauh (masih satu komplek), untuk sampai kantor tak ada yang naik kendaraan umum karena memang tidak ada kendaraan umum (jadi nggak perlu bayar ongkos angkutan umum), dan di kantor tidak ada kantin. Jadi untuk apa bawa uang? *mungkin begitu ya...

Tapi tunggu dulu, coba kulihat dompet suami. Jangan-jangan... ya ampun, ternyata doi juga malas bawa uang banyak, secukupnya saja. Paling enggak kalau ada edaran untuk ngisi sumbangan masih bisa ngisi. Iseng aku bertanya, kenapa ga mau bawa uang rada banyakan? Males, katanya. Kalau dompetnya agak tebel dikit, ntar ada yang pinjem buat beli rokok. Kan enggak enak kalau menolak, padahal kalau dipinjamkan pun belum tentu kembali. Hah, enggak salah dengarkah? *tapi itu kan hanya ulah oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Kisah di atas itu., kisah yang sudah lama berlalu. Aku hampir lupa, karena aku sudah berhenti bekerja sejak tahun 2004.
Sore ini, doi pamit mau sepedahan keliling kota, biar perut nggak terlalu buncit. Biasanya kami bertiga sama-sama bersepeda keliling komplek, aku, suamiku dan si bungsu. Tapi sore ini aku agak malas, jadi kubiarkan suamiku bersepeda sendiri.

"Bawa uang ya, Bi.. Nanti kalau lewat warung gorengan, belikan umi tahu isi ya." pintaku.
"Abi nggak bawa dompet," katanya.
"Ya udah, bawa aja nih uang," kataku sambil menyelipkan lembaran biru limapuluh ribu rupiah.
Ia pun pamit dan berlalu.

30 menit...
45 menit...
1 jam...
Tak ada tanda-tanda suamiku pulang. Langit mulai redup, senja menjelang. Adzan mahgrib berkumandang. Hatiku berdebar, ada rasa was-was menghantui. Biasanya kalau telat begini, ayangku selalu mengabari lewat telpon genggamnya.
Anak-anak sudah berangkat ke mesjid untuk shalat mahgrib berjamaah. Dalam bimbang, aku pun shalat mahgrib sendiri dan segera menanti suami dan anak-anak kembali.

"Assalamu'alaikummm!" teriak si bungsu di ambang pintu. Ia berlari ke arahku, mencium tanganku dan memelukku seperti biasanya. Kubalas pelukannya erat. Tanpa bisa kutahan, aku berbisik padanya, "Kok Abi belum pulang ya?"

"Abi ada di mesjid, Umi. Tadi aku ketemu," sahut anakku. Aku menarik napas lega, tapi dalam hati ngedumel juga, kok tega-teganya doi bikin aku waswas. Awas ya!

Wajah lelah dan berkeringat itu muncul di pintu sambil tersenyum mesra.
"Ih, Abiii.. kok lama amat sih sepedahannya! Bikin deg-degan aja," protesku.
 "Maaf ya, Umi. Tadi di jalan ketemu teman-teman yang sepedahan juga, Mereka ngajak rute yang jauh sampai Bontang Kuala," jelas suamiku.

"Terus di Bontang Kuala ngapain?" tanyaku.

"Itu dia, mereka ngajak makan ketan urap. Abi sih setuju aja. Lamaaaa setelah selesai makan, tak satupun dari mereka beranjak untuk membayar. Akhirnya Abi tanya mereka, tak ada yang membawa uang. Lha, ngajak makan kok nggak bawa uang. Untung tadi Umi ngasih Abi duit limapuluh ribu ya? Kalau nggak, hihihi.. bakalan malu deh ga bisa bayar."

"Jadi, tahu goreng pesanan Umi dibelikan nggak?" tanyaku lagi.

"Ng.. maafin Abi ya, Umi. Uangnya kepake buat bayar ketan urap," jawabnya.
Aku geleng-geleng kepala. Makanya, biasain bawa duit!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar