Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Sabtu, 31 Desember 2011

Bacaanku : Rembulan tenggelam di wajahmu

"Rembulan tenggelam di wajahmu" - dunia 'fantasi' tere-liye tentang perjalanan hidup. Disini hanya ada satu rumus : semua urusan adalah sederhana.


Ini kali pertama aku membaca karangan tere-liye. Buku setebal 426 halaman tanpa biodata penulisnya. Tak ada kata pengantar, tak ada daftar isi, hanya sebuah kalimat di hal. iii:



"Putri, sekarang Jakarta gerimis. Cepat sekali berubah. Kayak hati. Semoga pengertian, mau saling mengalah, saling menghargai, saling menjaga, komunikasi yang baik, dan tentu saja yang paling penting pemahaman agama yang baik menyertai rasa sayang. Biar abadi sayangnya. Tidak seperti cuaca."

Jakarta, 6 Januari 2009


Unik ya? Aku pun tertarik membacanya. Mulai Bab 1 sampai Bab 7, aku belum terlalu paham, hanya menerka-nerka, makanya kuselingi membaca sambil mengerjakan yang lain. Masuk ke Bab 8 : "Aku pertanyaan pertama", ah cerita ini tak biasanya, makin menarik (mulai serius membaca tapi masih sesekali diselingi kegiatan lain). Lalu mulai tergugu di bab "Aku tasbih yang rusak"

Masuk bab berikutnya, ada kalimat-kalimat yang menyusup sampai ke hati (hal.83):
"Siklus sebab-akibat itu sudah ditentukan. Tidak ada yang bisa merubahnya, kecuali satu : yaitu kebaikan. Kebaikan bisa merubah takdir... Nanti kau akan mengerti, betapa banyak kebaikan yang kau lakukan tanpa sengaja telah merubah siklus sebab-akibat milikmu. Apalagi kebaikan-kebaikan yang memang dilakukan dengan sengaja."

"Seseorang yang memahami siklus sebab-akibat itu, seseorang yang tahu bahwa kebaikan bisa merubah siklusnya, maka dia akan selalu mengisi kehidupannya dengan perbuatan baik. Mungkin semua apa yang dilakukannya terlihat sia-sia, mungkin apa yang dilakukannya terlihat tidak ada harganya bagi orang lain, tapi dia tetap mengisinya sebaik mungkin."

"Ah, siapa peduli dengan Diar yang selalu jujur menyetorkan uang tiga ribu rupiah? Siapa peduli dengan Diar yang selalu membeikan kembalian? Siapa peduli? Tetapi langit peduli. Dan Diar menjemput seribu pelangi indah saat waktu terhenti baginya, Diar menjemput janji langit karena telah menyelesaikan dengan baik siklus tersebut, malaikat berebut mengucap salam padanya."

"Ray, kecil-besar nilai sebuah perbuatan langit yang menentukan, kecil-besar pengaruhnya bagi orang, langit juga yang menentukan. Bukan berdasarkan ukuran manusia yang amat keterlaluan mencintai dunia ini."


Ah, kalimat-kalimat itu mengetuk kalbu. Sungguh, hati merasa malu karena lebih sering menilai sesuatu dari ukuran dunia. Mendadak ada keinginan untuk mulai hari ini berbuat baik walau tak ada yang peduli, bukankah langit akan peduli? Aku ingin menjemput seribu pelangi indah saat waktu berhenti. (cie.. kayak Diar dong)

Bab-bab berikutnya, tak ingin berhenti sampai lembar terakhir. Ini kisah yang menguras airmata (halah memang dirikyu cengeng kok). Persis waktu aku baca novelnya Khalid Khusaini "The Kite Runner". Kok bisa sih mereka bikin cerita bagus begini. Haduh, kalau sudah begini tambah nyadar deh, karya-karyaku masih cetek banget! :(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar