Ia menangis sesunggukan di depanku sembari mengakhiri ceritanya. Aku tahu, hatinya perih bukan kepalang. Luka yang dalam menimbulkan pilu yang tak tertahankan. Ingin kudekati dia, memeluknya seraya berkata, “Sabar sayang, semua akan baik-baik saja.” Tapi apa yang kulakukan? Aku hanya menunduk terpaku tanpa berbuat apa-apa. Ketika airmatanya mulai kering dan hanya isak satu-satu yang sesekali kudengar, aku hanya berkata, “Berceritalah jika itu membuatmu lega, aku akan mendengarkan dengan setia. Hanya itu yang mampu kuperbuat. Aku tak punya solusi apa-apa.”
Uh, sahabat macam apa aku ini? Sekedar menghiburpun aku tak bisa. Aku mengutuk diriku sendiri. Selalu itu yang terjadi. Tidak dulu, tidak pula sekarang. Perjalanan hidup tak membuatku berbenah untuk menyiratkan perasaan hatiku yang terdalam ketika orang mencurahkan kisah sedihnya padaku. Aku hanya bisa mendengarkan. Orang pasti menganggapku tak punya perasaan. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku bisa merasakan perihnya luka. Aku begitu mudah terharu dan menitikkan airmata, bahkan hanya karena membaca sebuah kisah sedih di sebuah cerita. Tapi tidak, ketika orang itu bercerita langsung padaku.
Pernah aku menerima telpon seorang sahabat yang lain. Sahabatku ini orang yang sangat pendiam. Dia bercerita tentang biduk rumah tangganya yang hampir karam. Ia mulai tak tahan dengan perlakuan suaminya yang mulai bermain kasar. Waktu itu aku mendengarkan semua curahan hatinya. Sesekali aku menghiburnya, dan berakhir dengan mengatakan, “Sabar ya mbak, ujian ini memang berat. Tapi yakinlah, mbak pasti kuat. Allah bersama orang-orang yang sabar.” Hm, aku bisa berkata bijak seperti itu karena kami bercakap-cakap lewat telpon. Coba kalau ketemu langsung, pasti lagi-lagi aku hanya bisa mendengarkan sambil diam. Dalam waktu yang cukup lama aku tak mendengar kabarnya lagi. Kupikir semua berakhir damai. Sampai suatu hari, seorang teman menyampaikan berita, mbak X kemarin dirawat di rumah sakit. Badannya lebam-lebam dihajar suaminya. Masyaallah.. begitu parahnya! Kalau saja waktu ia mengadu padaku, waktu ia membagi duka laranya aku tanggap dan tak sekedar menjadi pendengar yang baik, mungkin tak akan separah ini. Maafkan aku sahabat. Aku masih sebatas pendengar yang setia. Tak lebih.
Begitu pun seminggu yang lalu. Aku mengenal wanita ini sudah lama, tapi baru dibilang bisa ngobrol akrab setelah beberapa kali kami mengikuti kegiatan yang sama. Kadang aku bingung untuk memulai bercakap-cakap dengannya. Orangnya lagi-lagi pendiam. Yang aku tahu, ia baru kehilangan putranya setahun yang lalu. Berhubung hanya itu yang kuketahui tentang dirinya, kadang aku membuka pembicaraan dengan menyatakan kekagumanku atas perilaku almarhum anaknya yang santun dan punya prestasi gemilang. Aku ingat, waktu aku masih membuka warung jajan di rumah, almarhum anaknya sering mampir bersama teman-teman sekelasnya untuk jajan. Sebenarnya, aku takut pernyataanku ini membuat luka kehilangannya menganga kembali. Tapi bagaimana lagi, aku bingung untuk membuka percakapan dengan topik lain.
Sore itu di pelataran parkir seusai kegiatan kami bersama, tanpa kuduga ia menahanku dan berkata, “Mbak Ade, dulu anak saya suka jajan di warung mbak Ade ya?”
“Iya, kata suami saya, di antara anak-anak cuma dia yang paling sabar dan pendiam. Tak banyak cakap. Tak pernah protes untuk minta dilayani terlebih dahulu seperti anak-anak yang lain,” sahutku.
Sebentar kami terdiam, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Takut kalau ucapanku menoreh luka hatinya. Benar saja, tak lama kemudian mengalirlah semua cerita bersama deraian airmata. Duh, aku harus bagaimana?
“Dulu waktu anak saya masih ada, saya tak begitu suka bercerita. Pernah dia juara olimpiade IPA, waktu itu sekolah salah menuliskan nama, bukan nama anak saya yang tertulis, tapi nama anak lain. Kami tak pernah protes. Kami pikir biarlah, untuk apa protes. Ketika dia juara apapun, kami menyimpan kebanggaan hanya dalam hati, bukankah Islam mengajarkan kita untuk tidak sombong? Tapi sejak kehilangan dia, entah kenapa saya jadi selalu ingin bercerita tentang dirinya, tentang tutur sapanya, tentang prestasinya kepada setiap orang yang saya temui...” Banyak yang ia ceritakan tentang putranya sebelum kami berpisah dan lagi-lagi aku berucap,
“Berceritalah mbak kalau itu membuat hati lega, aku mendengarkan.” Kali ini, mataku merebak. Berkaca-kaca aku menatapnya sebelum akhirnya tetes itu jatuh membasahi pipiku. Hey, aku menangis? Sebuah kemajuan pikirku. Tapi tetap saja aku tak bisa memberikan solusi *dan untungnya dia memang hanya ingin cerita dan tak minta solusi :).
Bontang, 31 Mei 2011
Uh, sahabat macam apa aku ini? Sekedar menghiburpun aku tak bisa. Aku mengutuk diriku sendiri. Selalu itu yang terjadi. Tidak dulu, tidak pula sekarang. Perjalanan hidup tak membuatku berbenah untuk menyiratkan perasaan hatiku yang terdalam ketika orang mencurahkan kisah sedihnya padaku. Aku hanya bisa mendengarkan. Orang pasti menganggapku tak punya perasaan. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku bisa merasakan perihnya luka. Aku begitu mudah terharu dan menitikkan airmata, bahkan hanya karena membaca sebuah kisah sedih di sebuah cerita. Tapi tidak, ketika orang itu bercerita langsung padaku.
Pernah aku menerima telpon seorang sahabat yang lain. Sahabatku ini orang yang sangat pendiam. Dia bercerita tentang biduk rumah tangganya yang hampir karam. Ia mulai tak tahan dengan perlakuan suaminya yang mulai bermain kasar. Waktu itu aku mendengarkan semua curahan hatinya. Sesekali aku menghiburnya, dan berakhir dengan mengatakan, “Sabar ya mbak, ujian ini memang berat. Tapi yakinlah, mbak pasti kuat. Allah bersama orang-orang yang sabar.” Hm, aku bisa berkata bijak seperti itu karena kami bercakap-cakap lewat telpon. Coba kalau ketemu langsung, pasti lagi-lagi aku hanya bisa mendengarkan sambil diam. Dalam waktu yang cukup lama aku tak mendengar kabarnya lagi. Kupikir semua berakhir damai. Sampai suatu hari, seorang teman menyampaikan berita, mbak X kemarin dirawat di rumah sakit. Badannya lebam-lebam dihajar suaminya. Masyaallah.. begitu parahnya! Kalau saja waktu ia mengadu padaku, waktu ia membagi duka laranya aku tanggap dan tak sekedar menjadi pendengar yang baik, mungkin tak akan separah ini. Maafkan aku sahabat. Aku masih sebatas pendengar yang setia. Tak lebih.
Begitu pun seminggu yang lalu. Aku mengenal wanita ini sudah lama, tapi baru dibilang bisa ngobrol akrab setelah beberapa kali kami mengikuti kegiatan yang sama. Kadang aku bingung untuk memulai bercakap-cakap dengannya. Orangnya lagi-lagi pendiam. Yang aku tahu, ia baru kehilangan putranya setahun yang lalu. Berhubung hanya itu yang kuketahui tentang dirinya, kadang aku membuka pembicaraan dengan menyatakan kekagumanku atas perilaku almarhum anaknya yang santun dan punya prestasi gemilang. Aku ingat, waktu aku masih membuka warung jajan di rumah, almarhum anaknya sering mampir bersama teman-teman sekelasnya untuk jajan. Sebenarnya, aku takut pernyataanku ini membuat luka kehilangannya menganga kembali. Tapi bagaimana lagi, aku bingung untuk membuka percakapan dengan topik lain.
Sore itu di pelataran parkir seusai kegiatan kami bersama, tanpa kuduga ia menahanku dan berkata, “Mbak Ade, dulu anak saya suka jajan di warung mbak Ade ya?”
“Iya, kata suami saya, di antara anak-anak cuma dia yang paling sabar dan pendiam. Tak banyak cakap. Tak pernah protes untuk minta dilayani terlebih dahulu seperti anak-anak yang lain,” sahutku.
Sebentar kami terdiam, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Takut kalau ucapanku menoreh luka hatinya. Benar saja, tak lama kemudian mengalirlah semua cerita bersama deraian airmata. Duh, aku harus bagaimana?
“Dulu waktu anak saya masih ada, saya tak begitu suka bercerita. Pernah dia juara olimpiade IPA, waktu itu sekolah salah menuliskan nama, bukan nama anak saya yang tertulis, tapi nama anak lain. Kami tak pernah protes. Kami pikir biarlah, untuk apa protes. Ketika dia juara apapun, kami menyimpan kebanggaan hanya dalam hati, bukankah Islam mengajarkan kita untuk tidak sombong? Tapi sejak kehilangan dia, entah kenapa saya jadi selalu ingin bercerita tentang dirinya, tentang tutur sapanya, tentang prestasinya kepada setiap orang yang saya temui...” Banyak yang ia ceritakan tentang putranya sebelum kami berpisah dan lagi-lagi aku berucap,
“Berceritalah mbak kalau itu membuat hati lega, aku mendengarkan.” Kali ini, mataku merebak. Berkaca-kaca aku menatapnya sebelum akhirnya tetes itu jatuh membasahi pipiku. Hey, aku menangis? Sebuah kemajuan pikirku. Tapi tetap saja aku tak bisa memberikan solusi *dan untungnya dia memang hanya ingin cerita dan tak minta solusi :).
Bontang, 31 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar